Hujan menggigil, membasahi atap kuil reyot di lembah terpencil ini. Sama dinginnya dengan hatiku. Sudah lima tahun. Lima tahun sejak PENGKHIANATAN itu. Lima tahun sejak Lin Wei mencampakkanku, memilih kekayaan dan kekuasaan keluarga Su daripada cintaku yang sederhana.
Bayangan lentera minyak yang nyaris padam menari-nari di dinding, menampakkan wajahku yang semakin kurus. Dulu, wajah ini membuatnya tergila-gila. Dulu, matanya berbinar setiap kali menatapku. Dulu...
Pintu berderit terbuka. Lin Wei berdiri di ambang pintu, siluetnya dibingkai oleh kegelapan malam. Ia terlihat lebih tua, lebih keras. Kekayaan dan kekuasaan ternyata tidak bisa membeli kebahagiaan.
"Xiao Mei," bisiknya, suaranya serak. "Kau masih di sini."
Aku tidak menjawab. Mataku terpaku padanya, menelanjangi setiap kerut di wajahnya, setiap helai rambut putih yang menyelinap di antara rambut hitamnya. Dulu, sentuhanku mampu menghapus semua itu. Sekarang?
"Aku tahu aku salah," lanjutnya, mendekatiku dengan langkah ragu. "Aku tahu aku menyakitimu. Tapi...aku merindukanmu."
Merindukanku? Setelah ia menikahi putri keluarga Su? Setelah ia mewarisi semua yang seharusnya menjadi milikku?
Aku tersenyum. Senyum yang pahit, senyum yang sudah lama aku latih di depan cermin. Senyum yang akan menjadi topengku.
"Lin Wei," jawabku, suaraku selembut sutra namun setajam belati. "Kau tahu aku selalu mencintaimu. Bahkan setelah semua yang terjadi."
Aku meraih tangannya, menggenggamnya erat. Ia tersentak. Telapak tanganku terasa dingin. Terlalu dingin.
"Aku sudah memaafkanmu," bisikku, menatap matanya dalam-dalam. "Aku sudah melupakan semua rasa sakitnya. Yang aku inginkan hanyalah...bersama denganmu lagi."
Aku membawanya ke perapian, menuangkan teh hangat untuknya. Ia menyesapnya perlahan, matanya tak lepas dariku. Kebodohan. Ia masih sebodoh dulu.
"Teh ini..." gumamnya, wajahnya pucat pasi. "Rasanya aneh."
Aku tertawa. Tawa yang bergema di lembah yang sunyi ini. Tawa yang sudah lama aku pendam.
"Aneh? Tentu saja. Ini adalah teh termahal yang pernah aku buat. Terbuat dari akar bai fu zi, bunga man tou tuo, dan...sedikit racun dari gua fu."
Lin Wei tersedak. Matanya membulat, penuh ketakutan dan KEBINGUNGAN.
"Kau...kau meracuniku?"
Aku mengangguk, senyumku semakin lebar. "Lima tahun, Lin Wei. Aku menghabiskan lima tahun untuk merencanakan ini. Setiap tetes air mata, setiap malam tanpa tidur, semua terbayar lunas sekarang."
Ia berusaha berdiri, namun kakinya lemas. Ia jatuh berlutut, memegangi dadanya yang terasa sesak.
"Mengapa?" bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. "Mengapa kau melakukan ini?"
Aku berjongkok di hadapannya, menatapnya dengan tatapan kosong. Hujan semakin deras, memukul atap kuil dengan ganas.
"Kau tahu, Lin Wei," bisikku, suaraku dingin seperti es. "Selama ini, aku selalu bertanya-tanya...siapa sebenarnya yang membunuh ayahku?"
Ia terdiam.
Lalu, aku berbisik, Kalimat yang akan menghancurkan segalanya: "Dan jawabannya...selama ini, ada di cermin yang kau lihat setiap hari."
You Might Also Like: 0895403292432 Skincare Alami Untuk_30