Bayangan yang Mencintai Musuh Lama
Kabut menggantung berat di atas puncak Gunung Tai. Udara dingin menusuk tulang, merayapi jubah sutra ungu yang dikenakan Bai Lian. Setelah sepuluh tahun menghilang, ia kembali. Dulu, semua orang percaya ia telah tewas, jatuh ke jurang setelah pengkhianatan keji dari Li Wei, sang jenderal besar yang kini berkuasa.
Lorong-lorong Istana Giok terasa asing sekaligus akrab. Dulu, ia berlari di sini sebagai putri kesayangan Kaisar. Sekarang, ia hanya bayangan, menyelinap di antara pilar-pilar berukir naga dan phoenix. Tujuan Bai Lian jelas: menemui Li Wei.
Akhirnya, ia menemukan Li Wei di ruang kerjanya, dikelilingi gulungan peta dan tumpukan laporan. Cahaya lilin menari di wajahnya, menampakkan garis-garis keras dan beban yang ia pikul.
"Lama tidak bertemu, Jenderal Li," bisik Bai Lian, suaranya seperti desiran angin di bambu.
Li Wei terkejut. Ia berbalik, matanya membulat. "Bai… Lian? Mustahil. Kau…"
"Mati?" Bai Lian menyelesaikan kalimatnya dengan senyum tipis yang tidak mencapai matanya. "Itulah yang ingin kau percayai, bukan?"
"Apa maumu?" tanya Li Wei, suaranya bergetar meskipun ia berusaha menyembunyikannya.
Bai Lian melangkah maju, mendekat. "Aku di sini untuk menanyakan sesuatu yang selalu membayangiku selama sepuluh tahun ini. Mengapa, Li Wei? Mengapa kau mengkhianatiku? Mengapa kau membunuh ayahku?"
Li Wei tertawa sinis. "Membunuh Kaisar? Aku melakukannya demi kerajaan! Demi kedamaian! Ayahmu terlalu lemah, terlalu dikuasai emosi."
"Kedamaian?" Bai Lian mencibir. "Kau menyebut ini kedamaian? Kedamaian yang dibangun di atas darah dan kebohongan?"
"Kau tidak mengerti," desis Li Wei, matanya berkilat marah. "Aku melindungimu, Bai Lian. Jika aku tidak melakukan ini, kau juga akan mati."
"Melindungi?" Bai Lian tertawa hambar. "Dengan mencuri segalanya dariku? Dengan membuatku hidup dalam bayangan?"
Ia mendekat, berbisik di telinga Li Wei. "Kau tahu, Jenderal. Ada satu kebenaran yang kau lupa. Sejak awal, akulah yang mengatur permainan ini."
Li Wei menegang. Wajahnya pucat pasi.
"Ayahku tahu kau berambisi. Ia tahu kau mengincarnya. Itulah mengapa… ia melatihku. Memberiku racun penawar dan racun yang tak terdeteksi. Racun yang perlahan-lahan akan membunuh seseorang, membuatnya tampak seperti sakit biasa."
Bai Lian mundur, mengamati ekspresi ngeri di wajah Li Wei.
"Sudah sepuluh tahun, Li Wei. Kau telah memimpin dengan baik, membangun kerajaan yang kuat. Tapi kekuasaanmu… akan segera berakhir."
Li Wei terhuyung mundur, mencengkeram dadanya. Nafasnya tersengal. Ia menatap Bai Lian dengan tatapan ketakutan yang mendalam.
"Aku mencintaimu, Bai Lian," bisiknya lemah.
Bai Lian tersenyum dingin. "Cinta? Cinta adalah kelemahan. Dan aku… tidak punya kelemahan."
Li Wei jatuh berlutut, matanya menatap langit-langit. Perlahan, nyawanya melayang.
Bai Lian berbalik, berjalan keluar dari ruangan. Saat ia melewati pintu, ia berbisik, "Kau hanyalah bidak, Li Wei. Dan seorang bidak… harus dikorbankan."
Di kegelapan lorong, Bai Lian menghilang, meninggalkan istana dan sebuah kerajaan yang akan segera tunduk di bawah kendalinya. Karena di balik kabut pengkhianatan dan dendam, tersembunyi kebenaran yang mengerikan: Bayangan yang dicintai ternyata adalah dalang dari segalanya, dan musuh lamanya hanyalah pion dalam rencana besarnya.
You Might Also Like: 188 Its Silly To Think Rate Cuts Will