Hujan Seoul malam itu sama persis seperti malam itu, lima tahun lalu. Dinginnya menusuk tulang, membasahi ingatan, membuatnya lebih getir dari seharusnya. Di layar ponsel, nama Lee Minho berkedip, memanggilnya dari balik samudra. Dia, Park Soojin, menatapnya, hampa.
Jari-jarinya menari di atas keyboard virtual, membentuk kata, Aku kangen. Tiga huruf itu menggantung di sana, berat, seperti batu nisan di atas makam harapan yang dulu mereka bangun bersama. Dulu, Minho berjanji akan kembali. Dulu, Minho berjanji akan selalu ada. Dulu… segalanya terasa begitu mudah.
Klik.
Ia menghapus semuanya. Seperti dulu Minho menghapusnya dari kehidupannya, tanpa penjelasan, tanpa maaf. Sebuah panggilan telepon singkat, "Maaf, Soojin. Ini tidak bisa dilanjutkan." Lalu sunyi. Lima tahun sunyi yang memekakkan telinga.
Soojin menghela napas. Aroma kopi memenuhi apartemennya yang minimalis, ironisnya, sama persis seperti apartemen yang dulu mereka impikan bersama. Ia meraih cangkir itu, menghirup aromanya dalam-dalam. Aroma yang dulu selalu mengingatkannya pada Minho, kini terasa pahit.
Ia menatap pantulan dirinya di jendela. Wanita di sana bukan lagi Soojin yang dulu, yang mudah percaya janji manis. Wanita itu adalah pengusaha muda yang sukses, dingin, dan nyaris tidak tersentuh. Kesuksesannya adalah satu-satunya pelipur lara, satu-satunya pembuktian bahwa ia bisa berdiri tegak meski hati hancur berkeping-keping.
Minho menghubunginya lagi karena sebuah proyek bisnis. Ia ingin bekerjasama dengan perusahaan Soojin. Ironi yang MENYENANGKAN.
"Halo, Minho-ssi," sapanya, suaranya sedingin es di tengah musim salju. Ia sengaja menekankan sapaan formal itu, menandakan jarak yang membentang di antara mereka.
"Soojin… aku…"
"Aku tahu apa yang kau inginkan. Dan aku akan pertimbangkan tawaranmu. Tapi ingat, Minho-ssi, semua ada harganya."
Ia bisa merasakan kegelisahan Minho dari balik telepon. Ia bisa merasakan penyesalan yang selama ini berusaha disembunyikan. Sebuah senyuman tipis terukir di bibirnya.
Beberapa minggu kemudian, kesepakatan itu terjadi. Soojin menerima tawaran Minho, dengan satu syarat yang membuat Minho terdiam: ia ingin memegang kendali penuh atas proyek tersebut.
Soojin tahu apa yang akan dilakukannya. Ia akan membuat perusahaan Minho bergantung padanya. Ia akan membuat Minho berlutut di hadapannya, memohon belas kasihan. Bukan karena ia ingin membalas dendam secara langsung, tapi karena takdir memang selalu punya cara sendiri untuk menyeimbangkan neraca kehidupan.
Ia meletakkan ponselnya. Hujan di luar semakin deras. Di benaknya, ia membayangkan wajah Minho ketika ia tahu bahwa ia telah terjebak dalam permainannya.
Mungkin, cinta dan dendam memang dua sisi dari koin yang sama, Minho-ssi, dan kini, aku adalah mata uang itu.
You Might Also Like: Skincare Viral Di Tiktok Langsung Beli